Ternyata Wortel Tidak Bisa "MENYEMBUHKAN" Mata Minus
Ternyata itu cuma mitos. Termasuk juga pendapat yang mengatakan memakai kacamata terus-terusan akan membuat minus bertambah banyak.
Menurut penelitian ilmiah, wortel memang mengandung banyak
vitamin A, tapi kesalahan sistem optik pada mata tidak bisa diperbaiki
dengan vitamin A. Ibarat kamera yang lensanya sudah tidak fokus. Film dari merek berkualitas pun akan merekam gambar yang buram jika lensanya tidak sempurna. Dijelaskan dr. Hadi Prakoso W., Sp.M.,
“Orang menganggap vitamin A berperan dalam fungsi penglihatan manusia,
tapi sebenarnya vitamin A lebih banyak berperan pada metabolisme sel-sel
saraf yang ada
di retina. Jadi, banyak makan wortel pun tak dapat mencegah jumlah
minus, plus, atau silinder lensa kacamata anak,” ujar optalmologis dari
Jakarta Eye Centre ini.
Ada juga anggapan yang mengatakan
kacamata jangan terus-terusan dipakai karena malah akan menambah minus.
Menurut Hadi, pendapat itu juga tidak logis. Sama dengan anggapan kalau
kacamata harus selalu dipakai agar minusnya tak bertambah parah.
Ia menjelaskan, perkembangan ukuran bola mata sama seperti perkembangan tubuh manusia. Lihat saja ukuran bola mata bayi yang lebih
kecil ketimbang ukuran bola mata orang dewasa. Hal ini berarti dari
masa bayi hingga masa dewasa sebetulnya terjadi perkembangan pada ukuran
atau dimensi bola mata. Pada 2 tahun pertama yang sangat
berkembang adalah sistem optik di bagian depan mata (segmen depan),
yaitu sebesar 60%. Setelah usia 2 tahun seg- men depan masih berkembang
tapi sudah tidak begitu pesat.
Segmen belakang, lanjut Hadi, akan tumbuh pesat saat usia anak berkisar antara 4 sampai 15 tahun yang kemudian
melambat dan berhenti di sekitar usia 18 tahun. Saat itu, bagian
belakang bola mata dimana retina berada makin lama makin panjang sesuai
dengan pertambahan usia. Jadi, kalau minus pada mata anak bertambah
besar, itu karena jarak retina ke lensa makin panjang sehingga minusnya
pun akan bertambah besar. Dengan begitu penambahan minus pada usia
pertumbuhan terjadi secara alami. Nah, kondisi miopia rabun jauh yang parah dapat terlihat melalui USG yang memperlihatkan segmen belakang bola mata yang sangat memanjang. “Jelas, kan, pertambahan minus sebenarnya tidak bisa dicegah. Banyak orang tua yang datang meminta kiat mencegah bertambahnya minus pada anak. Ya… itu tidak mungkin kecuali kalau anaknya dibonsai,” kelakar Hadi.
MENGENAL ORGAN MATA
ORGAN MATA bisa diibaratkan kamera. Bola mata yang terdiri atas kornea mata dan lensa mata merupakan bagian sistem optik yang cara kerjanya sama dengan sistem optik di kamera. Sementara retina yang berfungsi sebagai sensor pada mata bisa dianalogikan sebagai film yang dipasang dalam kamera. Imej semua benda yang dilihat mata, akan difokuskan di retina.
Nah, bila konstruksi bola matanya mengalami ketidaksempurnaan,
seperti lensanya tidak sempurna atau tidak sesuai dengan keseluruhan
konstruksi bola mata maka fokus bisa jatuh di depan retina atau di
belakang retina. Akibatnya mata anak tidak bisa memfokuskan imej
benda-benda yang dilihatnya atau disebut refraksi. Kelainan refraksi tak memandang usia, bisa terjadi pada anak-anak hingga orang dewasa.
Deteksi kelainan refraksi pada anak-anak biasanya berlangsung dengan
melihat perilakunya. “Biasanya orang tua mengeluh, ‘Dok anak saya, kok,
kalau nonton teve maunya ke depan terus. Kalau disuruh menjauh
malah protes. Bisa juga terlihat anak selalu menyipitkan mata atau
memiringkan kepalanya setiap nonton teve. Sedangkan pada anak usia
sekolah, gejala kelainan refraksi dapat terlihat dari seringnya anak
berjalan mendekati papan tulis atau sering kedapatan salah menyalin.”
Untuk mengatasinya anak harus mengenakan lensa buatan berupa kacamata.
Dengan alat bantu ini barulah matanya bisa melihat dengan tajam dan
bersih.
PENYEBAB REFRAKSI
ASAL TAHU saja, kuat-lemahnya sistem optik pada mata terjadi
dengan sendirinya. “Memang dari sononya sudah begitu. Jadi bisa
dikatakan sudah merupakan bawaan lahir.”
Penyebabnya antara lain, faktor genetik. Sering, kan, pasangan atau salah satu orang tua yang berkacamata memiliki anak yang juga
berkacamata. Memang fakta tersebut belum didukung kuat dengan suatu
data penelitian, tapi Hadi banyak menemukan kasus seperti itu dalam
praktek sehari-hari. “Gen pembawa bakat kelainan refraksi ini bisa
dikatakan kuat,” ujarnya.
Namun, tentunya kita tidak dapat menghilangkan fakta, orang tua yang tak
berkacamata bisa saja memiliki anak berkacamata. Apa pemicunya jika
bukan karena faktor keturunan, menurut Hadi, hingga kini belum
diketahui. Apakah frekuensi nonton TV atau duduk di depan komputer yang terlalu sering? “Pernyataan tersebut belum dibuktikan secara empiris. Lagi pula tidak semua orang yang banyak nonton teve akan mengenakan kacamata bukan?” tukasnya.
Toh, asumsi tersebut tetap tak ditolaknya 100%. Bisa jadi
pemicu makin banyaknya orang berkacamata dipengaruhi pola hidup
masyarakat yang sudah berubah. “Dulu anak-anak memang sudah nonton teve tapi kalau sore masih bisa main layang-layang di
luar rumah. Namun, sekarang lingkungan di luar rumah menjadi semakin
tak bersahabat sehingga anak jadi lebih sering menghabiskan waktu di
rumah, di depan monitor teve atau komputer. “Tapi sekali lagi hal ini
belum pernah dikemukakan secara ilmiah. Jadi kita masih tidak tahu
pasti,” tekannya.
MACAM KELAINAN REFRAKSI
INILAH BEBERAPA kelainan refraksi yang kerap dijumpai:
* Miopia
Kelainan sering diistilahkan rabun jauh. Terjadi karena sistem optik yang sangat kuat pembiasannya, sehingga fokus bayangan benda yang dilihat
akan jatuh di depan retina. Kelainan ini bisa dikoreksi dengan lensa
minus. Oleh sebab itu, mata miopia dikenal sebagai mata minus.
* Hipermetropia
Kalau yang ini dikenal dengan istilah rabun dekat. Apa yang terjadi pada rabun dekat merupakan kebalikan dari miopia, yaitu sistem optik yang terlalu lemah sehingga fokus dari bayangan benda yang dilihat
akan jatuh di belakang retina. Kelainan ini harus dikoreksi dengan
lensa plus sehingga fokusnya maju ke posisi normal. “Pada bangsa-bangsa
di Asia Timur, mata minus atau rabun jauh lebih dominan ketimbang rabun
dekat. Namun, di kalangan bangsa Barat atau Arab penderita hipermetropia
lebih banyak dibandingkan dengan mata minus,” ujar Hadi.
* Astigmatisme
Kelainan ini tidak hanya meliputi masalah bagaimana fokus bayangan dibentuk, karena fokus benda yang dilihat terpecah menjadi dua bayangan.
Biasanya astimagtisme terjadi karena lengkung datar kornea dan lengkung
tegak kornea tidak simetris. Keadaaan ini bisa dianalogikan dengan
lengkungan pada sendok. Pada satu sisi ada yang landai sedangkan sisi lainnya terjal. Kalau sistem optik atau suatu lensa terlalu melengkung/terjal maka cahaya yang terbias melalu retina menjadi terlalu dekat. Sedangkan lengkung yang landai membuat fokusnya menjadi terlalu jauh. Akhirnya, imej atau citraan yang jatuh jadi terpecah dua.
Nah, kelainan ini yang oleh orang awam disebut sebagai mata silinder. Namun, terminologi mata silinder ternyata tak tepat karena sebenarnya bukan matanya yang silinder tetapi lensa yang fungsinya mengoreksi keadaan astigmatisme itulah yang bersifat silinder. Jadi, yang ada lensa silinder bukan mata silinder. Kasus astigmatisme banyak dijumpai pada orang Asia.
* Kombinasi Kelainan
Kelainan lensa silinder bisa dibarengi dengan kelainan mata
minus atau plus. Kalau kelainan astigmatisme berbarengan dengan kelainan
rabun dekat, maka fokus benda yang terlihat terpecah menjadi dua dan jatuhnya di depan retina. Gangguan ini bisa diatasi dengan lensa silinder yang disatukan dengan lensa minus. Sedangkan bila dibarengi rabun jauh, fokus benda yang terpecah akan jatuh di belakang retina. Gangguan seperti ini dapat diatasi dengan lensa silinder yang disatukan dengan lensa plus. Intinya menurut Hadi, hampir semua kelainan refraksi dapat diatasi dengan kacamata.
KALAU KELAINAN TERUS BERTAMBAH
JIKA SETELAH lewat usia 18 tahun, minus tetap bertambah,
maka penyebabnya tak lain adalah faktor penurunan fungsi sistem optik
dan retina pada mata yang bersangkutan.
Bisa juga penyebabnya adalah miopia patologis atau keadaan dimana bola
mata terus memanjang. Seharusnya, menurut teori, di usia 18 tahun
perkembangan bola mata sudah berhenti.
Ada dugaan, miopia patologis ini bisa diperparah dengan kebiasaan
banyak membaca. Di saat membaca, otot-otot di sekitar bola mata
dikondisikan untuk mengalami kontraksi atau penegangan. Kalau kontraksi
otot mata berlangsung terus, maka bola mata bisa semakin memanjang.
“Hanya saja penelitian ini dilakukan pada para penderita miopia, bukan
pada orang dengan mata normal. Jadi tak bisa dikatakan banyak membaca
akan membuat orang jadi berkacamata,” ujar Hadi menegaskan.
Kesimpulannya, kacamata hanya berfungsi membantu agar mata
dapat melihat lebih jernih dan jelas, bukan untuk mencegah atau justru
menambah kelainan yang ada.
Juga, apakah kacamata itu dipakai atau tidak, maka tidak akan memberi
pengaruh. Hanya saja tentu, kalau kacamata dipakai, anak akan melihat
dengan jelas, sedangkan kalau tidak, penglihatannya tetap buram.
[ Sumber: NAKITA/Faras Handayani ]