Sejarah pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia dimulai pada zaman berkembangnya satu agama di Indonesia. Kerajaan-kerajaan Hindu di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera yang mulai pada abad ke-4 sesudah masehi itulah tempat mula-mula ada pendidikan yang terdapat di daerah-daerah itu. Dapat dikatakan, bahwa lembaga-lembaga pendidikan dilahirkan oleh lembaga-lembaga agama dan mata pelajaran yang tertua adalah pelajaran tentang agama. Tanda-tanda mengenai adanya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua ditemukan pada abad ke-5
di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang
pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia didapatkan dari sumber-sumber Cina kurang lebih satu abad kemudian.
Ada 2 macam sistem pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia :
Pendidikan di Langgar
Di setiap desa di Pulau Jawa terdapat
tempat beribadah dimana umat Islam dapat melakukan ibadanya sesuai
dengan perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola oleh seorang petugas
yang disebut amil, modin atau lebai (di Sumatera). Petugas tersebut
berfungsi ganda, disamping memberikan do’a pada waktu ada upacara
keluarga atau desa, dapat pula berfungsi sebagai guru agama.
Pendidikan di Pesantren
Dimana murid-muridnya yang belajar diasramakan yang dinamakan pondok-pondok
tersebut dibiayai oleh guru yang bersangkutan ataupun atas biaya
bersama dari masyarakat pemeluk agama Islam. Para santri belajar pada
bilik-bilik
terpisah tetapi sebagian besar waktunya digunakan untuk keluar ruangan
baik untuk membersihkan ruangan maupun bercocok tanam.
Pendidikan Pada Abad Ke Dua Puluh Jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan Pendudukan. Di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran-aliran
untuk memberikan kepada pendudukan asli bagian dari keuntungan yang
diperoleh orang Eropa (Belanda) selama mereka menguasai Indonesia.
Aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang
Bumiputera harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang
telah menjadikan Belanda bangsa yang besar. Aliran atau paham ini
dikenal sebagai Politik Etis (Etische Politiek). Gagasan tersebut
dicetuskan semula olah Van Deventer pada tahun 1899 dengan mottonya
“Hutang Kehormatan” (de Eereschuld). Politik etis ini diarahkan untuk
kepentingan penduduk Bumiputera dengan cara memajukan penduduk asli
secepat-cepatnya melalui pendidikan secara Barat.
Dalam dua dasawarsa semenjak tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah berorientasi Barat. Berbeda dengan Snouck Hurgronje yang mendukung pemberian pendidikan kepada golongan aristokrat Bumiputera, maka Van Deventer menganjurkan pemberian pendidikan Barat kepada orang-orang
golongan bawah. Tokoh ini tidak secara tegas menyatakan bahwa orang
dari golongan rakyat biasa yang harus didahulukan tetapi menganjurkan
supaya rakyat biasa tidak terabaikan. Oleh karena itu banyak didirikan
sekolah-sekolah desa yang berbahasa pengantar bahasa daerah, disamping sekolah-sekolah yang berorientasi dan berbahasa pengantar bahasa Belanda. Yang menjadi landasan dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
- Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah
- Pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka
Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di Hindia Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur tersebut. Di satu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan unsur-unsur
dari lapisan atas serta tenaga didik bermutu tinggi bagi keperluan
industri dan ekonomi dan di lain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga
menengah dan rendah yang berpendidikan.
Tujuan pendidikan
selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan secara tegas. Tujuan
pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh
untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian penduduk setempat
dididik untuk menjadi buruh-buruh
tingkat rendahan (buruh kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan
dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga
pertanian dan lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau tiga. Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga-tenaga
kerja yang murah. Suatu fakta menurut hasil Komisi Pendidikan Indonesia
Belanda yang dibentuk pada tahun 1928 – 1929 menunjukkan bahwa 2 % dari
orang-orang
Indonesia yang mendapat pendidikan barat berdiri sendiri dan lebih
dari 83% menjadi pekerja bayaran serta selebihnya menganggur. Diantara
yang 83% itu 45% bekerja sebagai pegawai negeri. Pada umumnya gaji
pegawai negeri dan pekerja adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan
gaji-gaji Barat mengenai pekerjaan yang sama.